Kamis, 20 Mei 2010

Kamukah Muaraku?


Bagai anak sungai yang mengalir menuju muara, begitu pun aku.

Aku sedang dalam perjalananku mengikuti arus menuju muaraku.

Kamu…


*****

Jarak kadang memang menyadarkan kita akan sesuatu. Dan satu hal yang telah diajarkan jarak kepadaku, adalah bahwa aku tak bisa jauh dari kamu. Karena jauh dari kamu berarti menyiksa hatiku sendiri.

Mengiyakan permintaanmu untuk berpisah mungkin adalah keputusan terbodoh yang pernah kuambil. Aku masih menyayangimu, itu pasti. Dan harusnya kupertahankan kamu – yang kusayangi – mati-matian.

Sungguh ingin aku merengkuhmu sekali lagi, dan dari matamu yang masih memancarkan energi yang sama kuatnya seperti saat kita bersama dulu, kurasa kita memang masih ditakdirkan untuk bersama.

Maka di sini aku, di depan pintu rumahmu, sejak lima belas menit yang lalu. Dengan sekotak blueberry cheesecake kesukaanmu. Bukan untuk merayu, ini semata kulakukan karena aku bahagia ketika menatap matamu yang berbinar tiap kali mendapati sekotak kue dengan logo toko kue langganamu di tanganku. Walaupun kamu tetap saja tak percaya, dan tetap menganggapku perayu.

Berat rasanya mengetuk pintu kayu di depanku, ataupun sekedar menekan bel yang terletak tepat di samping pintu kayu ini. Aku gugup, seperti saat pertama kuakui tentang rasa sukaku kepada kamu, dulu.


Lho, mas, udah dari tadi di sini? Cari si mbak yah, emang gak tau si mbak sekarang di Tokyo?


Dan, lamunanku mendadak buyar.


******

Sungai itu berhenti alirannya, ia merajuk pada muaranya yang tiba-tiba pergi

Padahal ia sedang dalam perjalanan menuju sang muara

Kenapa kau selalu menjauh, tiap aku berlari menujumu?

Benarkah kamu takdirku?

Tolong, jangan buat yakin ku berubah ragu…

Minggu, 09 Mei 2010

Run!





Jangan tanya bagaimana rasanya mengucapkan kalimat perpisahan dari pangkal lidahku sendiri. Karena sesungguhnya itulah hal terakhir yang ingin aku lakukan. Tapi nyatanya, ada banyak hal yang berjalan tidak seperti yang kita inginkan. Dan berbulan-bulan yang lalu, justru aku-lah yang mengucapkan kata perpisahan itu... Tapi sungguh, mengertilah... Bukan itu sesungguhnya yang menjadi inginku...

Sekarang, bolehkah aku meminta kesempatan kedua? Kesempatan agar hati kita kembali bertautan seiring dengan pertemuan kita kemarin malam? Ah, rasanya itu menjadi keinginan yang terlalu berlebihan. Lihatlah dirimu, kau tampak bahagia, TANPA AKU...

Dan aku? Aku menjalani sepi ini sendiri. Sibuk merangkai mimpi semu antara aku dan kamu. Rasanya sesak, karena terkadang kau harus merajut rindu ini sendirian tanpa ada lantunan nada rindu dari seberang sana sebagai penawar.

---------------------------

Aku menutup pintu rumahku sesaat setelah kau mengantarku kemarin malam dari sebuah ’reuni’ yang kita lakukan. Kurenungi banyak hal. Tentang rindu. Tentang kamu. Dan juga tentang kesepian yang kurasakan selama ini. Setelahnya, muncul banyak pertanyaan yang mendesak dengan begitu kuat di salah satu sudut logikaku. Kamu kah yang aku rindukan? Atau justru hanya bayangan-mu saat bersama denganku di masa lalu yang selalu aku rindukan?

Pertanyaan-pertanyaan ini semakin menjeritkan perih yang selama ini kurasakan. Sungguh aku tak pernah rela, jika ternyata diriku hanya merindukan bayang semu dirimu di masa lalu. Dan aku pun kembali menangis. Entah ini tangisan yang ke-berapa, tapi kali ini aku benar-benar merasa kalah. Kalah karena telah memenjarakan diriku untuk sebait kenangan yang hanya hidup di masa lalu.

Aku mencari banyak alasan untuk melupakanmu. Tapi seringkali aku lupa, alasan itu seharusnya sangat sederhana. Aku harus hidup untuk sekarang dan masa depan. Bukan untuk kamu di masa lalu!

Iya ma... Aku take off jam setengah sembilan malem.
Iyaaaa… gak apa-apa kok. Ya ampun ma, Tokyo kan masih di Asia juga, kalo kangen aku langsung terbang ke Indonesia deh.
Oke ma, bye... nanti kalo udah sampe aku kabarin lagi.


Dan jangan sebut ini sebagai pelarian, karena aku selalu saja gagal berlari dari sosokmu!