Kamis, 05 Agustus 2010

If This is Goodbye



Senja mengubah langit menjadi berwarna oranye menyala. Entah kenapa, begitu ingin rasanya aku memalingkan pandanganku dari langit jingga. Ritual berpamitan matahari setelah setengah hari memamerkan cahayanya pada bumi, adalah momen terakhir yang ingin kunikmati. Bukan karena aku kini sudah tak lagi mengidolakan senja, tapi memandangi senja, seperti biasanya, selalu membawa ingatanku menuju kamu. Dan kamu, adalah hal terakhir yang ingin aku ingat saat ini.

Kamu memang serupa senja, yang indahnya membuat aku tergila-gila. Tapi senja, seperti halnya kamu, tak pernah mau tinggal terlalu lama, sekedar membiarkan aku menikmati indahnya lebih lama dari biasanya. Kau dan senja, seperti sama-sama tak mau termiliki, kalian ingin bebas, dengan cara kalian sendiri. Seperti senja, yang terburu-buru pergi setiap aku mengejarnya diujung jalan, begitupun kamu, menghilang secepat oranye yang berubah menjadi kelabu, saat aku berusaha meraihmu.

Aku sering bertanya, kenapa Tuhan membiarkan aku dan kamu bertemu, lalu kemudian membiarkan hatiku jatuh padamu, jika kemudian Tuhan membiarkan hatimu berjalan ke arah yang lain, membiarkan hatiku jatuh sendirian, tak berbalas, retak, hancur. Tapi kemudian aku sadar, bahwa tak patut mempertanyakan kuasa Tuhan, karena bukankah Dia bebas melakukan apa yang Dia mau, karena aku sadar betul Dia tahu mana yang baik untukku, yang sengaja dia ciptakan sebagai hamba-Nya. Maka kemudian kuterima semua sebagai bagian dari perjalanan, yang menguatkanku, mendewasakanku.

Aku belajar untuk berhenti bertanya. Maka bukan aku tak peduli jika akhirnya aku diam saat kau kembali pergi saat aku sedang berusaha meraihmu. Aku melepasmu seperti aku melepas senja. Tak lagi berusaha mengejar, karena tahu, bahwa kau berlari untuk dilepas, bukan untuk dikejar. Maka aku melepasmu berlari, dengan tenggorokan tercekat, dan hati yang luluh lantak.

Sudahlah, menghadirkan kamu dalam otakku berarti membiarkan hatiku kembali merasakan sakit yang tak terkira perihnya. Jika memang bukan pada genggamanku akan kau pasrahkan jarimu, maka takkan kuraih paksa jemari lentikmu. Dan walau sulit, kurapalkan sebuah doa, untuk kamu yang entah berada di belahan dunia yang mana, semata-mata agar kamu bahagia, walau mungkin bahagia itu bukan milikku.

Ya, semoga kamu menemukan bahagiamu di sana, di suatu tempat, yang jauh dari aku…

******

“If what we had is really over. If fate is out there we discover. Let’s find forgiveness for each other. Even if this is goodbye”

If This is Goodbye - Lifehouse

Kamis, 10 Juni 2010

Back To The Start?



To : kamu@gmail.com
Subject : Back to the start...


Ingatan tentangmu kembali mencengkeram kekinian-ku.

Kamu pernah bilang, ”senja” itu seperti sihir yang meredam semua gaduh, dan membungkus ribuan jalinan kata untuk ditransformasikan menjadi hening. Kemudian kamu betah berdiam diri menatap senja sembari duduk meringkuk dimanapun.

Terlalu rumit bagiku untuk memahami mengapa kamu begitu mengidolakan senja. Merah saga yang menghantarkanmu pada gelap malam. Dan menjadi lebih rumit lagi sekarang mengingat kamu dan aku berpisah justru saat senja masih membayangi kita.

Hening senja ini menyiksaku. Tubuhku kaku menatap mentari yang perlahan turun dan menghilang. Rasanya aku tak siap mengggapai malam. Menghadapi gelap. Sendirian. Beribu-ribu kilometer jauhnya dari genggaman tanganmu. Walau jelas kupahami aku telah kehilangan genggaman tanganmu sejak dua belas purnama yang lalu.

Perih. Tapi kali ini kubiarkan diriku dikecup senja dengan penuh kerelaan. Bahkan meminta supaya senja ini bersedia bertahan lebih lama. Apakah pintaku ini terlalu berlebihan?

Apa ini namanya rindu? Hingga aku begitu pasrah menerima perih yang jelas-jelas menyiksa. Dan waktu? Kemanakah waktu? Apa ia menghilang? Padahal jelas mereka bilang, waktu-lah pada akhirnya yang mampu melunturkan luka, dan mengaburkan rindu.

Tak bisakah kita kembali saja?



*****

Aku terpaku menatap layar monitor di hadapanku. Barisan kata yang meluap-luap di kepalaku kini telah berpindah dalam sekejap ke hadapanku. Aku menghela napas panjang, mataku memanas. Kembali aku menangis, meski yang keluar dari sudut mataku hanya dua bulir air mata yang dengan cepat kuseka...

Apa ini akan bertahan hingga selamanya?
Paling tidak kita mencobanya...
Tapi bagaimana jika tiba-tiba kita harus berpisah?
Apa sebenarnya yang kamu takutkan?
Entahlah... hanya saja untuk apa kita bersatu jika selalu ada kemungkinan bagi kita untuk terserak, terpisah dan meninggalkan sepi?


Ternyata aku meminta waktu tak terhingga untuk kita. Padahal jelas, hanya Tuhan yang mampu menjadi Yang Tak Terhingga. Dan apa mungkin kali ini memang benar-benar telah habis masanya bagi kita? Kamu menjadi yang sempurna dalam hempasan waktu yang berbatas.

Semua yang berawal pada hakikatnya harus berakhir. Fakta yang tak pernah kupahami maknanya hingga beberapa detik lalu. Aku (mencoba) belajar, nyatanya ini memang bukan masalah bagaimana awal dan akhir, tapi ini tentang sebuah proses. Mungkin Tuhan mencoba merengkuh kasihnya untukku dengan menghamparkan sebuah episode pembelajaran : merasa dalam batas dan juga berdamai dengan perih.

Aku masih saja tenggelam dalam genangan cinta untukmu. Tapi aku meyakinkan diri bahwa mungkin jarak ini dan perpisahan ini-lah yang akan memperindah masa depan kita. Memperindah masa depan aku dan kamu. Meski saat ini aku tak sanggup mendefinisikan apa itu masa depan. Namun paling tidak, aku akan mencoba berdamai dengan perih ini.

Aku menimbang-nimbang untuk menekan tombol send untuk email yang baru saja kuketik untuk dirimu. Kulirik senjamu dengan mataku dan mendesahkan sebait kalimat ”Aku teramat rindu padamu...”

Save as Draft

Aku mencoba menenun rindu ini dengan berteduh pada rimbun keikhlasan...



*****


I asked God, "Why do we fall in love and get into relationships when we know that it'll end sooner or later?"


God told me he would get back to me on that. But then he turned around and said, "First tell me why you live your life even though you know you're going to die sooner or later...?”


-unknown-

Kamis, 20 Mei 2010

Kamukah Muaraku?


Bagai anak sungai yang mengalir menuju muara, begitu pun aku.

Aku sedang dalam perjalananku mengikuti arus menuju muaraku.

Kamu…


*****

Jarak kadang memang menyadarkan kita akan sesuatu. Dan satu hal yang telah diajarkan jarak kepadaku, adalah bahwa aku tak bisa jauh dari kamu. Karena jauh dari kamu berarti menyiksa hatiku sendiri.

Mengiyakan permintaanmu untuk berpisah mungkin adalah keputusan terbodoh yang pernah kuambil. Aku masih menyayangimu, itu pasti. Dan harusnya kupertahankan kamu – yang kusayangi – mati-matian.

Sungguh ingin aku merengkuhmu sekali lagi, dan dari matamu yang masih memancarkan energi yang sama kuatnya seperti saat kita bersama dulu, kurasa kita memang masih ditakdirkan untuk bersama.

Maka di sini aku, di depan pintu rumahmu, sejak lima belas menit yang lalu. Dengan sekotak blueberry cheesecake kesukaanmu. Bukan untuk merayu, ini semata kulakukan karena aku bahagia ketika menatap matamu yang berbinar tiap kali mendapati sekotak kue dengan logo toko kue langganamu di tanganku. Walaupun kamu tetap saja tak percaya, dan tetap menganggapku perayu.

Berat rasanya mengetuk pintu kayu di depanku, ataupun sekedar menekan bel yang terletak tepat di samping pintu kayu ini. Aku gugup, seperti saat pertama kuakui tentang rasa sukaku kepada kamu, dulu.


Lho, mas, udah dari tadi di sini? Cari si mbak yah, emang gak tau si mbak sekarang di Tokyo?


Dan, lamunanku mendadak buyar.


******

Sungai itu berhenti alirannya, ia merajuk pada muaranya yang tiba-tiba pergi

Padahal ia sedang dalam perjalanan menuju sang muara

Kenapa kau selalu menjauh, tiap aku berlari menujumu?

Benarkah kamu takdirku?

Tolong, jangan buat yakin ku berubah ragu…

Minggu, 09 Mei 2010

Run!





Jangan tanya bagaimana rasanya mengucapkan kalimat perpisahan dari pangkal lidahku sendiri. Karena sesungguhnya itulah hal terakhir yang ingin aku lakukan. Tapi nyatanya, ada banyak hal yang berjalan tidak seperti yang kita inginkan. Dan berbulan-bulan yang lalu, justru aku-lah yang mengucapkan kata perpisahan itu... Tapi sungguh, mengertilah... Bukan itu sesungguhnya yang menjadi inginku...

Sekarang, bolehkah aku meminta kesempatan kedua? Kesempatan agar hati kita kembali bertautan seiring dengan pertemuan kita kemarin malam? Ah, rasanya itu menjadi keinginan yang terlalu berlebihan. Lihatlah dirimu, kau tampak bahagia, TANPA AKU...

Dan aku? Aku menjalani sepi ini sendiri. Sibuk merangkai mimpi semu antara aku dan kamu. Rasanya sesak, karena terkadang kau harus merajut rindu ini sendirian tanpa ada lantunan nada rindu dari seberang sana sebagai penawar.

---------------------------

Aku menutup pintu rumahku sesaat setelah kau mengantarku kemarin malam dari sebuah ’reuni’ yang kita lakukan. Kurenungi banyak hal. Tentang rindu. Tentang kamu. Dan juga tentang kesepian yang kurasakan selama ini. Setelahnya, muncul banyak pertanyaan yang mendesak dengan begitu kuat di salah satu sudut logikaku. Kamu kah yang aku rindukan? Atau justru hanya bayangan-mu saat bersama denganku di masa lalu yang selalu aku rindukan?

Pertanyaan-pertanyaan ini semakin menjeritkan perih yang selama ini kurasakan. Sungguh aku tak pernah rela, jika ternyata diriku hanya merindukan bayang semu dirimu di masa lalu. Dan aku pun kembali menangis. Entah ini tangisan yang ke-berapa, tapi kali ini aku benar-benar merasa kalah. Kalah karena telah memenjarakan diriku untuk sebait kenangan yang hanya hidup di masa lalu.

Aku mencari banyak alasan untuk melupakanmu. Tapi seringkali aku lupa, alasan itu seharusnya sangat sederhana. Aku harus hidup untuk sekarang dan masa depan. Bukan untuk kamu di masa lalu!

Iya ma... Aku take off jam setengah sembilan malem.
Iyaaaa… gak apa-apa kok. Ya ampun ma, Tokyo kan masih di Asia juga, kalo kangen aku langsung terbang ke Indonesia deh.
Oke ma, bye... nanti kalo udah sampe aku kabarin lagi.


Dan jangan sebut ini sebagai pelarian, karena aku selalu saja gagal berlari dari sosokmu!

Kamis, 29 April 2010

Sill Got The Blues For You


Tatapan itu tidak berubah, tidak sedikitpun. Hangatnya persis seperti hangat yang kurindukan. Masih ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang membuat aku kehilangan saat tatapan mata ini menghilang. Tapi malam ini kembali bisa kunikmati hangatnya.

Aku dan kamu, duduk berhadapan. Tak banyak kata yang mengiringi pertemuan kita. Hanya beberapa basa-basi soal kabar masing-masing. Aku berbohong saat kukatakan aku baik-baik saja. Memang tak sepenuhnya berbohong, karena aku memang baik-baik saja, tapi sejak ke-kita-an kita dipaksa berubah menjadi hanya sekedar aku dan kamu, jelas ada yang terasa kurang dalam hidupku. Tapi aku yakin kamu takkan butuh informasi selengkap itu, maka rasanya jawabanku sudah cukup mewakili pertanyaan tentang kabarku.

Aku pun merasa menangkap kebohongan saat kau katakan hidupmu pun baik-baik saja. Kamu mengatakannya sambil menatap sudut lain, mengalihkan pandanganmu dari menatap mataku. Tapi tetap ku tangkap lapisan kaca yang hampir mengalirkan air dari kedua bola mata itu, walau kemudian kau kembali berhasil menguasai dirimu. Tapi matamu tak mampu berbohong. Aku tahu, seperti halnya yang diam-diam terjadi pada diriku, ada sesuatu yang menggerogoti dirimu sejak ke-kita-an kita usai.

Mata itu adalah mata paling jujur yang pernah kutemui. Seperti ketika aku membuatmu harus menunggu lebih dari dua jam saat aku berjanji menjemputmu, tapi kemudian aku tertidur. Kau hanya menggumamkan “it’s okay” saat aku memohon maafmu. Tapi tak lama air matamu tumpah, air mata seorang wanita yang merasa terabaikan. Maka sejak saat itu tak pernah bisa kau sembunyikan perasaanmu padaku, karena apa yang kau rasakan selalu terpancar dari mata itu.

Seperti malam ini, ketika kamu bersikap seolah dirimu sekokoh baja di hadapanku, seolah aku akan percaya begitu saja pada kekokohanmu. Mana bisa aku percaya saat ada sebatang kayu yang berpura-pura menjadi baja. Aku terlalu mengenalmu untuk kemudian percaya begitu saja perempuanku.

Perempuanku, masih bolehkah kupanggil engkau perempuanku? Karena sesungguhnya, saat aku mengiyakan permintaanmu untuk pergi, hatiku setengah menjerit tak rela. Masih ada perasaan memiliki yang enggan ditepiskan, bahkan sampai kini, berbulan-bulan setelah perpisahan kita. Jadi biarkanlah aku menyebutmu perempuanku, paling tidak untuk diriku sendiri.

Tak banyak yang teradi malam ini. Tapi rasa hangat yang masih terasa saat mataku bertemu matamu ini menjelaskan sesuatu. Bahwa tak seharusnya kupaksakan menggantikan dirimu dengan wanita lain, yang dimatanya tak kutemukan hangat yang kutemukan di matamu. Maka sesaat setelah mataku mengiringimu menutup pintu rumahmu, kuraih telepon genggamku, dan kuputuskan untuk tak lagi memaksakan diriku mencari dirimu yang lain. Karena sesungguhnya di hati ini masih tertulis namamu di dinding-dindingnya.

Cause I’ve still got the blues for you!

Selasa, 06 April 2010

Broken Me





Oh God… What am I doing?

Mimpiku… Seperti terhenti disini, saat aku memutuskan untuk menemuinya, sahabat yang mencintaiku dan memperlebar jarak di antara kita. Ketika ketakutan bagai selubung asap yang melingkupi tubuhku. Ketakutan untuk tersakiti padahal masih ada kemungkinan munculnya bahagia jika aku bertemu denganmu saat ini.

Dan sudah terlambat sekarang. Sudah telat 30 menit dari waktu perjanjian kita. Dia menatapku heran, melihat lembaran tisu yang sedari tadi kuremas untuk menutupi risauku yang tiba-tiba muncul.
"Jujur… Lagi kenapa?"
Kalimat yang meluncur dari mulutnya setelah detik-detik hening diantara kami. Aku mendongak menatapnya, berpikir untuk menggelengkan kepala. Tapi tidak, yang kulakukan justru mengeluarkan telepon genggamku dan menunjukkan sebuah pesan singkat yang membuat hatiku diserang beribu galau. Dan sekarang, ia menarik tanganku menuju mobilnya, membawaku ke tempat perjanjian kita.

Aku tak pernah mengerti hatinya terbuat dari apa. Ia yang selalu mendorongku menggapai bahagiaku. Nyatanya, ia tahu dengan jelas, bahagiaku selalu mengarah kepadamu, menuju pada kemungkinan bahwa kita masih dapat menjelma menjadi gagasan yang membungkus banyak harap. Ia seperti menyeret tubuhnya pada pedih, dan aku seperti tak peduli pada sejuta sembilu yang menusuk dirinya.

*******

Kini jelas, kita telah duduk saling berhadapan sekarang. Aku dan kamu, tanpa dia. Rasanya aku seperti berada dalam wilayah abu-abu. Antara percaya dan tak percaya, antara luka dan bahagia, serta antara risau dan cinta yang meluap bersamaan. Senyum dan air mataku ingin merebak bersamaan.

Namun, aku memutuskan untuk menahan air mata yang mendesak keluar dari kelopak mataku. Air mata yang seharusnya tumpah mengalirkan rindu yang tak kutemukan penawarnya sejak perpisahan kita. Untuk membuatmu percaya, langkahku tak pernah terseok-seok tanpa kehadiranmu. Bahwa aku masih dapat berdiri tegak tanpa kamu di sampingku. Bahwa hatiku dapat menyembuhkan diri setelah hancur karena perpisahan kita.

Kebohonganku yang pertama. Berpura-pura kokoh seperti baja padahal jelas-jelas rapuh seperti kayu yang dimakan rayap.

Dan kamu tahu? Perpisahan kitalah yang menggerogoti kuatku…

Senin, 15 Maret 2010

When Your Eyes Met Mine



Aku menyeruput kopiku. Gelas ketigaku sejak aku datang ke sini menunggumu. Sepertinya pesanku jelas, jam tujuh malam di tempat biasa. Apa jangan-jangan kamu sudah melupakan tempat kita biasa bertemu ini? Café dengan kanopi hijau yang kita sukai karena suasananya yang tenang. Juga karena jajaran foto yang memenuhi dindingnya yang biasa kita nikmati satu persatu, sambil mengomentari beberapa yang menarik perhatian kita. Aku sebenarnya tak begitu menikmati memandangi deretan foto di dinding itu. Ekspresi antusiasmu saat mengamati foto demi foto dengan serius itulah yang lebih membuatku tertarik. Aku takkan melupakan tempat penuh kenangan ini, kupikir kamu juga. Tapi kini aku tak yakin lagi soal itu.

Kuletakkan gelasku. Berkali-kali kulirik ke arah pintu, berharap melihat sosokmu muncul dari balik pintu. Tapi tak ada kamu. Berapa kali pun kulihat ke arah pintu, aku tetap tak melihat kamu muncul dari baliknya.

Harusnya aku mengerti isyarat itu. Isyarat yang kau kirimkan sejak kamu sama sekali tidak merespon pesanku. Hey, tapi bukakah justru kamu yang lebih dulu mengajak bertemu? Ahh, wanita memang sulit dimengerti. Mereka meminta sesuatu, pria menuruti, tapi kemudian mereka justru marah-marah ketika dituruti. Mereka layaknya guru yang hobi memberikan test pada murid-muridnya. Seperti saat kamu meminta berpisah dulu, lalu aku menurutinya. Lalu kemudian katamu aku tak cukup serius menjalani hubungan karena aku tidak menahanmu. Logika yang aneh!

Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran sofa. Ini akan jadi gelas kopi terakhirku. Begitu gelas ini kosong, aku akan pergi. Walaupun separuh diriku yakin kamu tidak akan datang, bahkan sejak satu jam setelah aku membalas pesanmu, aku masih berharap kekuatan rindu menggerakanmu datang menemuiku. Kekuatan yang sama yang mengantarkan aku ke tempat ini. Karena itulah aku masih memberimu waktu, tapi hanya sampai kopi di gelas ini habis, tidak lebih!

“When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”

The Alchemist

Aku butuh pembukitan kata-kata Coelho itu saat ini. Aku sangat ingin bertemu kamu, jadi ayolah semesta, tolonglah aku! Gerakkan kaki perempuan yang matanya paling ingin aku tatap itu ke bangunan berkanopi hijau ini.

Kulirik gelas kopiku, sisa seteguk. Kuhela nafas panjang, menghabiskan sisa kopi, lalu berjalan ke arah kasir. Coelho memang bukan Tuhan, jadi wajar dia salah mengeluarkan teori yang terlanjur kupercayai. Aku berjalan ke arah pintu setelah selesai membayar minumanku.

Tapi aku terpaku, sosok yang kutunggu-tunggu muncul dari balik pintu. Jantung dan darahku berhenti sepersekian detik lamanya. Saat tiba-tiba mataku beradu dengan mata yang paling kurindukan.

Matamu!