Senin, 15 Maret 2010

When Your Eyes Met Mine



Aku menyeruput kopiku. Gelas ketigaku sejak aku datang ke sini menunggumu. Sepertinya pesanku jelas, jam tujuh malam di tempat biasa. Apa jangan-jangan kamu sudah melupakan tempat kita biasa bertemu ini? Café dengan kanopi hijau yang kita sukai karena suasananya yang tenang. Juga karena jajaran foto yang memenuhi dindingnya yang biasa kita nikmati satu persatu, sambil mengomentari beberapa yang menarik perhatian kita. Aku sebenarnya tak begitu menikmati memandangi deretan foto di dinding itu. Ekspresi antusiasmu saat mengamati foto demi foto dengan serius itulah yang lebih membuatku tertarik. Aku takkan melupakan tempat penuh kenangan ini, kupikir kamu juga. Tapi kini aku tak yakin lagi soal itu.

Kuletakkan gelasku. Berkali-kali kulirik ke arah pintu, berharap melihat sosokmu muncul dari balik pintu. Tapi tak ada kamu. Berapa kali pun kulihat ke arah pintu, aku tetap tak melihat kamu muncul dari baliknya.

Harusnya aku mengerti isyarat itu. Isyarat yang kau kirimkan sejak kamu sama sekali tidak merespon pesanku. Hey, tapi bukakah justru kamu yang lebih dulu mengajak bertemu? Ahh, wanita memang sulit dimengerti. Mereka meminta sesuatu, pria menuruti, tapi kemudian mereka justru marah-marah ketika dituruti. Mereka layaknya guru yang hobi memberikan test pada murid-muridnya. Seperti saat kamu meminta berpisah dulu, lalu aku menurutinya. Lalu kemudian katamu aku tak cukup serius menjalani hubungan karena aku tidak menahanmu. Logika yang aneh!

Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran sofa. Ini akan jadi gelas kopi terakhirku. Begitu gelas ini kosong, aku akan pergi. Walaupun separuh diriku yakin kamu tidak akan datang, bahkan sejak satu jam setelah aku membalas pesanmu, aku masih berharap kekuatan rindu menggerakanmu datang menemuiku. Kekuatan yang sama yang mengantarkan aku ke tempat ini. Karena itulah aku masih memberimu waktu, tapi hanya sampai kopi di gelas ini habis, tidak lebih!

“When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”

The Alchemist

Aku butuh pembukitan kata-kata Coelho itu saat ini. Aku sangat ingin bertemu kamu, jadi ayolah semesta, tolonglah aku! Gerakkan kaki perempuan yang matanya paling ingin aku tatap itu ke bangunan berkanopi hijau ini.

Kulirik gelas kopiku, sisa seteguk. Kuhela nafas panjang, menghabiskan sisa kopi, lalu berjalan ke arah kasir. Coelho memang bukan Tuhan, jadi wajar dia salah mengeluarkan teori yang terlanjur kupercayai. Aku berjalan ke arah pintu setelah selesai membayar minumanku.

Tapi aku terpaku, sosok yang kutunggu-tunggu muncul dari balik pintu. Jantung dan darahku berhenti sepersekian detik lamanya. Saat tiba-tiba mataku beradu dengan mata yang paling kurindukan.

Matamu!

Menjemput Mimpi



Sebuah pesan singkat balasan darimu :

“Jumat minggu depan di tempat biasa, jam 07.00 malem. Gimana? Can’t hardly wait to see you again :)”

Apakah ini pertanda? Sebuah pertemuan setelah perpisahan? Saat kaki kita melangkah menjauh, memberi jarak bagi dua hati yang mungkin sebenernya masih berharap dapat tertaut. Tapi, kamu selalu bilang “Rasa akan mengalahkan segalanya, bahkan jika harus berperang dengan logika, maka rasa ini akan selalu memenangkan pertempuran”. Dan inikah jawabannya, bahwa rasaku padamu telah menuntun kita berdua pada sebuah pertemuan kembali? Sebuah reuni?

Mungkin…

Aku belajar, sekelebat mimpi dapat membuat kau terlena dengan banyak cara. Mungkin menghadirkan senyum atau justru tangisan karena rasa sakit tak tertahankan. Hei sayang… aku memimpikan siluetmu malam ini. Dan tangisku mengendap jauh ke dalam digantikan dengan senyuman yang tersembul sepanjang hari. Kita akan bertemu lagi malam ini!

Kubawa ini ke hadapanmu nanti malam; rindu yang membesar setiap harinya, dan sebait rasa yang tersimpan dengan sangat baik di hatiku. Maka yang harus kulakukan sekarang adalah mempersiapkan hati untuk kubawa bersamaku agar ia dapat memenuhi setiap kejutan yang mungkin terjadi saat mataku dan matamu beradu, atau saat mulut kita saling tertawa untuk sebuah kisah konyol klise di kehidupan kita.

“Naek apa tadi? Gw bilang kan juga bisa dijemput, tapi lo gak mau. Kenapa sih?”

Gw? Lo? Bukankah kita sudah melupakan sapaan ini saat cinta mempertemukan kita pada sebuah komitmen? Ya, ini memang bukan kita, karena lelaki yang ada di hadapanku sekarang memang bukan kamu! Dia, sahabatku yang menyatakan cinta padaku seminggu yang lalu! Lelaki yang mencoba membuatku tertawa saat air mata selalu mendera hari-hariku...


*******

Mungkin aku harus merelakan ‘kita’, terlalu menyakitkan mendamba pada sesuatu yang semu. Dan bukankah bayangan tentang kita menjadi semu sekarang? Terasa kabur. Dan aku takut menarik diriku dalam kesemuan. Aku tidak siap terluka lagi sayang…

Aku membuat janji pertemuan dengan yang lain dan kuperintahkan supir taksi untuk memutar kemudinya. Aku dan taksi ini tak lagi menuju bangunan antik di depan Museum Fatahillah.

Maaf, kakiku tak berlari ke arahmu malam ini, tapi percayalah hati ini terus menerus meniti berbagai kemungkinan untuk dipertemukan pada sejumput bahagia bersamamu…

Dan aku menahan tangis dalam laju taksi di antara lampu kota yang berkerlip menemani malam…

Minggu, 14 Maret 2010

Seperti Dulu




Pernakah kamu merasakan saat-saat di mana kamu mati-matian menghindari sesuatu, tapi hal yang paling kamu hindari justru menjadi hal yang paling sering muncul di harimu. Kamu berlari menghindarinya, tapi semakin cepat kamu berlari, semakin cepat pula dia mengejarmu. Di manapun kamu sembunyi, dia selalu bisa menemukanmu. Begitulah kira-kira yang sedang kualami kini. Aku diserang sesuatu yang disebut kenangan. Kenangan tentang sesosok perempuan yang selalu mengingatkanku pada semburat jingga di langit kala mentari sembunyi malu-malu.

Rindu, tak bisa kuelakkan lagi bahwa aku rindu. Kucoba mengalihkan rindu ini dengan mencoba mengisi ruang di hatiku yang belum benar-benar kosong ini dengan hati yang lain. Namun nihil. Hati baru itu tak mengusir hadirmu di pikiranku sedikitpun. Ini aneh, betapa aku dapat mengabaikan begitu saja yang ada di depan mata, dan justru terpaku pada yang telah pergi. Jangan salahkan aku. Ini pun di luar kuasaku. Pikiranku sepertinya sedang berusaha mempermainkanku. Aku jadi kesulitan membedakan yang nyata dari yang ilusi.

Seperti ketika nada dering yang hanya kugunakan untuk telepon masuk darimu tiba-tiba kembali terdengar, dibarengi dengan kemunculan sebaris namamu di layar telepon genggamku. Semuanya terasa tak nyata. Bahkan ketika kutekan tombol hijau dan menempelkan telepon itu ke telingaku pun aku masih berkali-kali melihat layar itu untuk memastikan apa benar itu memang sambungan telepon darimu. Tapi tak ada suara, maka aku kembali yakin ini memang hanya ilusi. Maka aku menyuarakan isi hatiku, walau mungkin tak benar-benar ada telinga yang mendengar di seberang sana.

“Aku kangen kamu…”

Tiga detik, hening. Tak ada balasan suara atau sekedar helaan nafas dari seberang sana. Ah, ya tentu saja. Bukankah ini hanya ilusi yang menguasai otakku. Eh, tunggu, sepertinya aku mendengar sesuatu. Suara yang sangat aku kenal.

“Aku juga… Banget..”

Telepon dimatikan. Namamu menghilang dari layar. Aku terpaku. Apakah ilusi memang sejelas ini? Aku yakin suara itu terlalu nyata untuk sebuah ilusi. Masih sibuk aku berdebat dengan diriku sendiri, sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggamku :

“Kalo kamu kangen aku, dan aku kangen kamu, yang kita butuhin cuma ketemu kan?”

Oke, ini nyata!

*****

Di sinilah aku, seminggu setelah telepon yang disusul pesan mengejutkan itu. Aku berdiri di depan bangunan antik di seberang museum Fatahillah, tempat yang kusebutkan di balasan pesan yang tak kau balas lagi.

Aku tidak tahu apakah kau akan muncul hari ini. Tak ada kepastian kau akan datang, tapi aku tetap datang. Dan aku akan menanti sampai siluetmu muncul di kejauhan. Mendorong pintu dan membunyikan bel yang tergantung di belakangnya. Dan aku akan berdiri dari tempatku duduk untuk menyambutmu dengan senyumku.

Seperti dulu

Kamis, 11 Maret 2010

You, The One...




Benar! Hatiku kini kuyup, tenggelam oleh cinta yang berubah menjadi kehampaan, ketika bahagia kita hanya menyisakan air mata yang melekat erat di setiap sudut mataku. Bahkan hanya dengan sekedar sapaan “Selamat Pagi” melalui sebuah pesan singkat, air mataku bisa luruh tanpa henti.

Kuabaikan pesan singkat darimu. Bukan tanpa sengaja, tapi aku terlalu sibuk menata hati yang tiba-tiba berantakan dan terserak hanya karena dua kata berisi sapaan darimu. Tapi kepalaku terus menerus mengajukan banyak pertanyaan yang sayangnya hanya bisa terjawab dari mulutmu.

Apa kau merasa sepi disana?
Apa kau baik-baik saja?
Apa kau bahagia tanpa kita?
Apa masih ada yang tersisa dari ‘kita’ dalam dirimu?


Bahkan jika semua jawabanmu tidak seperti yang kuharapkan, aku tak akan pernah peduli. Karena aku hanya ingin mendengar suaramu. Rangkaian rindu kepadamu membuncah tak tertahan. Maka bukannya membalas pesan singkat darimu, malam ini kuputuskan untuk menelepon dirimu.

Mungkin kita masih bisa bicara?

Detik pertama setelah kau mengangkat telepon, kita seperti tercekik dalam kesunyian. Aku tak bersuara, begitupun dirimu. Tolong, jangan hening, bicaralah sayang... Tersentak. Apa aku masih bisa memanggilmu sayang?

Entahlah, tapi aku seperti tersudut dalam kesunyian yang terbangun tanpa sengaja antara kita berdua. Apa yang tersisa dari sebuah kesunyian? Mungkin hanya hening dan luka, aku menangis tanpa bersuara hingga desahan napasmu tiba-tiba terdengar jelas di telingaku. Dan keluarlah tiga kata itu dari mulutmu.

"Aku kangen kamu..."

Pesan macam apa yang berusaha kau sampaikan kepadaku? Rindu seperti apa yang baru saja keluar dari mulutmu? Aku menerka-nerka dalam tangisku. Tak kutemui jawabnya. Namun yang kutahu, aku mulai menangis sambil tersenyum. Gersangku seperti tersiram hujan.

"Aku juga... Banget..."

Tiga kata dariku, lalu kuputuskan sambungan telepon di antara kita. Aku mengetik sebuah pesan singkat untukmu :

"Kalo kamu kangen aku, dan aku kangen kamu, yang kita butuhin cuma ketemu kan?"


*****

"Maaf jika aku tak bisa menyembunyikan rindu yang telah menjelma cinta seutuhnya. Maaf juga aku tak bisa lari dari dirimu, karena hatiku telah kau kuras habis hingga ke akar-akarnya."
-Moammar Emka-

Selasa, 02 Maret 2010

Karena Hidup Adalah Bergerak Maju




Hidup adalah bergerak maju. Itu yang kupegang teguh sekarang. Seberapa pun tebalnya awan mendung di belakangku, tetap ada mentari yang harus kukejar di depan sana. Aku tidak sedikitpun lupa pada luka yang sudah terlanjur menggores, tapi The Cure pun bilang Boys Don’t Cry. Aku masih punya dua kaki, dua tangan, panca indera lengkap, dan hati.

Ahh, hati. Entahlah, sulit bagiku bicara tentang hati. Terutama ketika aku tak lagi benar-benar tahu apakah hati ini masih bisa difungsikan untuk merasa atau tidak. Karena kau tahu, ketika kau merusak sesuatu, menggantinya dengan yang baru lebih mudah daripada jika kau dipaksa memperbaikinya. Tapi hatiku tak datang dengan garansi, yang bisa ditukar ketika ada kerusakan. Tak juga ada yang menjualnya di toko ketika hati milikmu sudah benar-benar tak berfungsi. Serusak-rusaknya hati, mau tak mau, tetap harus kau paksa hati itu bekerja.

Seperti aku, yang tak mau membiarkan hatiku terlalu lama tak berfungsi. Katanya cara menghapus luka lama itu adalah dengan mencari pengalihan dari rasa sakit yang ada. Aku sebenarnya tak setuju, karena aku sejujurnya berpikir ini hanyalah menambah luka di atas luka yang telah ada. Tapi tak ada salahnya, siapa tahu ini benar menyembuhkan. Maka dia, yang cantik dan menjadi rebutan di kalangan teman-temanku, dengan mudah kutaklukkan. Bukan sombong, aku memang superior dibanding mereka soal urusan menaklukkan wanita.

Tapi ya itu tadi, bagiku ini masih sekedar urusan menaklukkan. Hatiku masih tertinggal di samping hatimu, sosok yang masih muncul di kepalaku setiap senja datang menjemput matahari. Kamu yang mungkin seharusnya ku kubur dalam-dalam di hatiku yang kini harusnya diisi olehnya. Tapi sayangnya baru aku yang berhasil menaklukkan hatinya, dia belum benar-benar bisa menaklukankku.

Aku tak lagi tahu batas salah dan benar. Jangan hakimi aku. Yang kuinginkan hanyalah terus maju, meninggalkan awan mendung ke arah datangnya cahaya matahari. Jadi sekali lagi jangan hakimi aku!

“Makasih yah sayang udah dianterin”

Suaranya membuyarkan lamunanku, sudah sampai depan rumahnya rupanya. Aku tersenyum mengangguk menjawab ucapan terimakasihnya. Dia turun, dan sekali lagi melambaikan tangannya sebelum kemudian menutup pintu rumahnya. Aku baru saja menyandarkan badanku ke kursi mobilku ketika telepon genggamku berbunyi. Nada dering yang sudah lama tak kudengar, yang kupakai khusus untuk telepon masuk darimu. Kudekatkan layar ke wajahku, melihat tak percaya. Masih tak percaya, kulihat sekali lagi.

Ternyata benar, ada namamu di sana.

Kamu meneleponku!

Senin, 01 Maret 2010

Jika



Aku berhenti menangis malam itu. Menyadari kemungkinan kau sudah berlari jauh dari semua gagasan tentang ‘kita’.

Ya, karena aku tak ingin menjadi yang tertinggal. Sendiri dan terdiam memandangi kau berlari sementara aku sendiri berjuang susah payah dengan hati yang carut marut disini. Paling tidak, aku tak perlu mengeluarkan tangisan untukmu walau perih itu selalu menghampiri hatiku. Air mataku terlalu berharga.

Tapi lihat aku, malam ini aku menangis lagi. Mengingkari semua janji yang kubuat sendiri. Aku menangis tanpa bisa kuhentikan. Tuhan… tolong aku…

Lalu tiba-tiba datanglah permakluman dari alam. Hujan turun dengan lebat, menenggelamkan semua jeritan dan tangisanku. Aku menangis tergugu di sudut kamarku. Sendirian. Berharap kau tiba-tiba datang menghampiriku dan mengatakan semua baik-baik saja.

Namun, yang kutahu, semua itu memang hanya ilusi.

Kulirik jam di kamarku, 05.56 WIB. Kelopak mataku tak terpejam sedikitpun semalaman ini. Ia justru bekerja lebih keras untuk setiap air mata yang mendesak keluar. Untuk setiap sakit yang kurasakan.

Lalu kutatap jejak hujan di jendela kamarku. Tangisanku sudah mereda, malam pun telah tergantikan pagi. Tapi mengapa aku masih saja berkutat dengan segala hal tentang kamu, kita, dan semua cerita tentang kita. Dengan JIKA dan SEANDAINYA. Jika saja alam semesta menautkan hati kita kembali di masa depan…

Maybe in the future, you're gonna come back, you're gonna come back around
Maybe in the future, you're gonna come back, you're gonna come back

(Maybe – Ingrid Michaelson)

Telepon genggamku bergetar.

1 new message received

“Selamat pagi.. Apa kabar?”

Namamu tertulis jelas di baris pengirim. Aku tercekat, menangis. Entah karena bahagia atau justru takut karena merasa kamu hanya datang untuk menabur garam di lukaku yang belum juga kering hingga detik ini…

Maafkan, Pagi Ini Aku Terlalu Rindu!






Matahari pagi masuk melalui sela-sela jendelaku yang tak bertabir. Silaunya membangunkanku dari tidurku yang juga tak terlalu nyenyak. Entahlah, sejak perih itu tertanam di hatiku, tidurku tak lagi bisa nyenyak. Kuregangkan badanku sedikit, lalu reflek kuambil telepon genggam di meja samping tempat tidurku. Memasukkan nomor yang kuhapal di luar kepalaku, tapi kemudian menghapusnya lagi.


See, I look for you in the morning
It's that where my mind always goes

(Colbie Caillat - Begin Again)



Begini tiap hari, tiap pagi. Alam bawah sadarku seolah masih ingin menjadi yang pertama menyapa selamat pagi, bahkan ketika kesadaranku belum penuh, serta pita suaraku belum benar-benar siap mengeluarkan suara. Tapi aku tak peduli, ini seolah jadi kebutuhan bagiku, kebutuhan untuk selalu jadi yang pertama untukmu. Tapi kini, pagiku diisi dengan perlawanan melawan alam bawah sadarku. Jangan tanya bagaimana sisa hariku, ketika tiap hari kuawali dengan melawan diri sendiri.

Purnama-purnama yang berlalu rupanya sama sekali tidak memudarkan hal-hal yang biasa kita lakukan bersama dulu, saat semuanya masih baik-baik saja. Kadang ingin rasanya aku bersikap seolah tak peduli, menghubungimu setiap aku mau seperti dulu, tanpa perlu memikirkan lukamu, juga lukaku. Baiklah, aku sejujurnya tak tahu apa-apa tentang lukamu. Tapi paling tidak lukaku masih basah, tak mengering sama sekali. Jadi kuhindarkan segala hal yang membuatnya bersentuhan denganmu.

Aku sesungguhnya tak tahu mana yang lebih baik. Kadang hatiku membisikkan sesuatu. Ia berkata bahwa satu-satunya yang bisa mengobati lukaku adalah orang yang sama yang menorehkan luka ini. Tapi itu mati-matian dibantah logikaku yang mengatakan bahwa hanya keledai yang terjatuh di lubang yang sama lebih dari sekali. Sungguh aku benar-benar tak tahu mana yang lebih baik.

Ada satu pertanyaan yang begitu ingin kutanyakan langsung kepadamu, tentang kesempatan untuk kembali saling menautkan hati ini. Hati yang terlalu sakit karena telah berbulan-bulan dipaksa berpisah oleh ego kita. Tapi lagi-lagi aku tak berani, aku terlalu rapuh untuk itu.

Entah darimana, ada kekuatan yang datang tiba-tiba, itupun jika ini bisa disebut kekuatan. Yang pasti aku tak bisa melawan. Kekuatan ini menggerakkan tanganku meraih telepon genggamku. Mengetikkan sebaris kalimat pendek. Lalu mengirimkannya ke nomor yang kuhapal benar di luar kepala


“Selamat pagi.. Apa kabar?”

Sent



Maafkan, pagi ini aku terlalu rindu.

Pagi







Pagi kesekian tanpa suaramu menyapaku.

Mungkin aku merindukan suara pagimu. Suara saat kau baru saja terbangun dari tidur, berkombinasi dengan suara jarak jauhmu dari seberang telepon. Suara tak merdu yang kau keluarkan. Hanya lenguhan tak bermakna dan juga sapaan “Selamat pagi!”.


'Cause I love the way you say good morning.
And you take me the way I am.
(Ingrid Michaelson – The Way I am)


Seharusnya pagi menjadi awal bagi hari yang baru. Tapi yang mungkin tak pernah kamu pahami, bagiku pagi selalu menjadi hari yang baru TANPA KEHADIRANMU.

Lalu bayangkan, pagi ini aku terbangun tanpa suaramu. Harusnya aku sudah terbiasa dengan kehilangan ini. Tapi nyatanya aku seringkali terbangun dan melongok telepon genggamku. Nihil. Tak ada pesan singkat ataupun panggilan tak terjawab darimu. Bahkan refleks-ku pun seperti berkomplot menghancurkan pagiku.

Masih sering, kubuka mataku dari tidur dan kemudian secara refleks memencet nomormu. Di tengah jalan, aku tersadar bahwa itulah hal yang tak boleh kulakukan kembali. Lalu dengan sempurna, rusaklah pagiku…

Entahlah, apa kau juga merasakan apa yang kurasakan. Ketika rutinitasmu direnggut tiba-tiba. Ketika kau tak lagi bisa melakukan apapun yang ingin kau lakukan. Kamu tahu? Rasanya tersiksa… Menahan jemariku untuk tak lagi mengirimkan pesan singkat bagimu, apalagi memencet nomer telepon genggammu untuk mendengarkan suaramu.

Nyatanya, setiap pagi aku harus berusaha memberi rentang yang sangat lebar bagi kita berdua. Rasanya? Seperti ingin berlari namun kakimu terikat dengan sangat kuat. Lalu tubuhmu dibebat dengan kain dengan sangat kencang. Sakit. Tak bisa bergerak dengan bebas.

Senja ini, aku masih saja bertanya tentang pagi-pagiku tanpamu. Ketika pagi seakan menghancurkanku dan senja justru menghadirkan rindu bagiku. Satu pertanyaan untukmu, tak dapatkah kamu kembali sejenak? Kembalikan hati yang kau bawa pergi, karena aku menjadi hampa tanpanya…

Masihkah Senja Itu Berarti Sesuatu?





Aku menatap senja yang menghadirkan sekelumit kenangan tentangmu, yang selalu kuingat saat senja tiba. Tentang saat ketika kau meminta aku untuk pergi bersama angin yang bergerak menjauhi kehidupanmu. Tunggu, bukan meminta, tapi tepatnya memaksa.

Karena telah kuupayakan segala daya untuk tetap di sampingmu, sekeras apapun angin yang nantinya mendera. Tak cukupkah janjiku untuk tetap berdiri di sampingmu, melawan hujan, badai, topan, yang selalu kau takutkan datang menerjang? Tak bisakah kau coba yakin pada kesungghanku. Kesungguhan untuk meyakinkanmu meneruskan semua ini, tanpa perlu berpisah jalan.

Dan setelah semua upayaku, tak bisakah kau sedikit menghargaiku, bukan dengan tetap mengusirku pergi. Dan lihatlah, kuturuti maumu. Separuh karena aku kesal, lelah, merasa tak dihargai. Selebihnya karena aku tak ingin memaksakan kehendak. Kehendak untuk meneruskan perjalanan saat kau sudah merengek ingin berhenti.

Tapi baru beberapa langkah, kau kembali menyalahkan aku. Aku yang tak menahanmu. Aku yang membiarkan luapan itu tumpah. Ingin rasanya aku bertanya tentang semua yang aku lakukan saat ini semua belum benar-benar tumpah. Tapi apakah kemudian kamu akan mendengarkan? Maka aku hanya diam, membiarkan kamu berpikir aku tak mendengar. Tak mampu lagi meyakinkamu, ketika keyakinanku pun sudah terlanjur kamu lunturkan.

Kamu menangis dan bicara soal luka. Tanpa kamu tahu ada luka tak kalah dalam tertoreh di sini, di hatiku. Dan luka ini sesungguhnya bertambah perih karena tangisanmu. Tapi lagi-lagi aku tak mampu menguatkan apalagi menyembuhan lukamu, kerena akupun diam-diam lemah karena luka yang kurasakan.

Entah apa yang membawa kakiku ke sini, stasiun ini, berbulan-bulan setelah itu semua terjadi. Menikmati senja sendirian sambil mengingatmu. Yang mungkin seperti aku masih mengenang semuanya yang tertoreh di lukisan senja, atau mungkin sudah berjalan bahagia menatap senja, tanpa (mau) mengingat lagi apa yang pernah direkam senja tentang kita.

Entah!

Senja





Tentu aku masih ingat senja itu, saat matahari mulai turun mendekap batas cakrawala dan udara dingin perlahan menusuk tubuhku. Ingatan yang menyisakan rasa getir dalam diriku sampai saat ini.

Hingga badanku menggigil, justru bukan karena udara malam yang perlahan menggelayut pada senja kita. Tapi karena inginku yang tak dikabulkan olehmu. Inginku yang terdalam walau akhirnya hanya dapat kusampaikan pada kalimat terakhir.

Mungkin yang harus kamu tahu adalah kenyataan bahwa kalimat pertama tak selamanya berarti segalanya. Sama seperti senja itu, saat aku menyuruhmu menghilang bersama angin, pergi menjauh dari kehidupanku. Kamu harus tahu, itu hanya luapan emosi sesaat. Gagasan tentang ketidakyakinan yang tiba-tiba meluap, yang seharusnya kamu tampung dan bukannya kamu biarkan tumpah hingga ke tepian.

Lalu aku berteriak padamu untuk mempertahankan semua yang kita miliki hingga detik itu. Tapi kamu tak lagi mendengar. Atau mungkin bertingkah seperti tak mendengar karena kamu menjadi terlalu sibuk pada semua hal terbaik namun menyakitkan untuk kita jalani. Tapi kamu harus tahu, inilah kalimat terakhir yang kuucapkan saat itu, saat aku ingin kamu meyakinkanku dan bukannya pergi meninggalkanku...

Tapi bisa apa aku, saat dayamu padaku seakan sudah habis. Yang aku tahu, aku menangis tanpa bisa dihentikan. Tanpa tahu, mana yang lebih menyakitkan. Menyesal karena kalimat pertamaku atau karena kamu yang melepaskan ini semua dengan mudah.

Berbulan-bulan kemudian, disinilah aku, duduk di stasiun menanti kereta pada suatu senja. Senja yang selalu mengingatkanku pada kekacauan yang kita buat, dengan memori yang terserak sempurna pada setiap sinaps yang dimiliki otakku. Berulangkali kuputuskan sambungannya. Namun selalu berakhir dengan kesia-siaan, karena aku terus mengingatmu...