Tatapan itu tidak berubah, tidak sedikitpun. Hangatnya persis seperti hangat yang kurindukan. Masih ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang membuat aku kehilangan saat tatapan mata ini menghilang. Tapi malam ini kembali bisa kunikmati hangatnya.
Aku dan kamu, duduk berhadapan. Tak banyak kata yang mengiringi pertemuan kita. Hanya beberapa basa-basi soal kabar masing-masing. Aku berbohong saat kukatakan aku baik-baik saja. Memang tak sepenuhnya berbohong, karena aku memang baik-baik saja, tapi sejak ke-kita-an kita dipaksa berubah menjadi hanya sekedar aku dan kamu, jelas ada yang terasa kurang dalam hidupku. Tapi aku yakin kamu takkan butuh informasi selengkap itu, maka rasanya jawabanku sudah cukup mewakili pertanyaan tentang kabarku.
Aku pun merasa menangkap kebohongan saat kau katakan hidupmu pun baik-baik saja. Kamu mengatakannya sambil menatap sudut lain, mengalihkan pandanganmu dari menatap mataku. Tapi tetap ku tangkap lapisan kaca yang hampir mengalirkan air dari kedua bola mata itu, walau kemudian kau kembali berhasil menguasai dirimu. Tapi matamu tak mampu berbohong. Aku tahu, seperti halnya yang diam-diam terjadi pada diriku, ada sesuatu yang menggerogoti dirimu sejak ke-kita-an kita usai.
Mata itu adalah mata paling jujur yang pernah kutemui. Seperti ketika aku membuatmu harus menunggu lebih dari dua jam saat aku berjanji menjemputmu, tapi kemudian aku tertidur. Kau hanya menggumamkan “it’s okay” saat aku memohon maafmu. Tapi tak lama air matamu tumpah, air mata seorang wanita yang merasa terabaikan. Maka sejak saat itu tak pernah bisa kau sembunyikan perasaanmu padaku, karena apa yang kau rasakan selalu terpancar dari mata itu.
Seperti malam ini, ketika kamu bersikap seolah dirimu sekokoh baja di hadapanku, seolah aku akan percaya begitu saja pada kekokohanmu. Mana bisa aku percaya saat ada sebatang kayu yang berpura-pura menjadi baja. Aku terlalu mengenalmu untuk kemudian percaya begitu saja perempuanku.
Perempuanku, masih bolehkah kupanggil engkau perempuanku? Karena sesungguhnya, saat aku mengiyakan permintaanmu untuk pergi, hatiku setengah menjerit tak rela. Masih ada perasaan memiliki yang enggan ditepiskan, bahkan sampai kini, berbulan-bulan setelah perpisahan kita. Jadi biarkanlah aku menyebutmu perempuanku, paling tidak untuk diriku sendiri.
Tak banyak yang teradi malam ini. Tapi rasa hangat yang masih terasa saat mataku bertemu matamu ini menjelaskan sesuatu. Bahwa tak seharusnya kupaksakan menggantikan dirimu dengan wanita lain, yang dimatanya tak kutemukan hangat yang kutemukan di matamu. Maka sesaat setelah mataku mengiringimu menutup pintu rumahmu, kuraih telepon genggamku, dan kuputuskan untuk tak lagi memaksakan diriku mencari dirimu yang lain. Karena sesungguhnya di hati ini masih tertulis namamu di dinding-dindingnya.
Cause I’ve still got the blues for you!