Aku menyeruput kopiku. Gelas ketigaku sejak aku datang ke sini menunggumu. Sepertinya pesanku jelas, jam tujuh malam di tempat biasa. Apa jangan-jangan kamu sudah melupakan tempat kita biasa bertemu ini? Café dengan kanopi hijau yang kita sukai karena suasananya yang tenang. Juga karena jajaran foto yang memenuhi dindingnya yang biasa kita nikmati satu persatu, sambil mengomentari beberapa yang menarik perhatian kita. Aku sebenarnya tak begitu menikmati memandangi deretan foto di dinding itu. Ekspresi antusiasmu saat mengamati foto demi foto dengan serius itulah yang lebih membuatku tertarik. Aku takkan melupakan tempat penuh kenangan ini, kupikir kamu juga. Tapi kini aku tak yakin lagi soal itu.
Kuletakkan gelasku. Berkali-kali kulirik ke arah pintu, berharap melihat sosokmu muncul dari balik pintu. Tapi tak ada kamu. Berapa kali pun kulihat ke arah pintu, aku tetap tak melihat kamu muncul dari baliknya.
Harusnya aku mengerti isyarat itu. Isyarat yang kau kirimkan sejak kamu sama sekali tidak merespon pesanku. Hey, tapi bukakah justru kamu yang lebih dulu mengajak bertemu? Ahh, wanita memang sulit dimengerti. Mereka meminta sesuatu, pria menuruti, tapi kemudian mereka justru marah-marah ketika dituruti. Mereka layaknya guru yang hobi memberikan test pada murid-muridnya. Seperti saat kamu meminta berpisah dulu, lalu aku menurutinya. Lalu kemudian katamu aku tak cukup serius menjalani hubungan karena aku tidak menahanmu. Logika yang aneh!
Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran sofa. Ini akan jadi gelas kopi terakhirku. Begitu gelas ini kosong, aku akan pergi. Walaupun separuh diriku yakin kamu tidak akan datang, bahkan sejak satu jam setelah aku membalas pesanmu, aku masih berharap kekuatan rindu menggerakanmu datang menemuiku. Kekuatan yang sama yang mengantarkan aku ke tempat ini. Karena itulah aku masih memberimu waktu, tapi hanya sampai kopi di gelas ini habis, tidak lebih!
“When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”
The Alchemist
Aku butuh pembukitan kata-kata Coelho itu saat ini. Aku sangat ingin bertemu kamu, jadi ayolah semesta, tolonglah aku! Gerakkan kaki perempuan yang matanya paling ingin aku tatap itu ke bangunan berkanopi hijau ini.
Kulirik gelas kopiku, sisa seteguk. Kuhela nafas panjang, menghabiskan sisa kopi, lalu berjalan ke arah kasir. Coelho memang bukan Tuhan, jadi wajar dia salah mengeluarkan teori yang terlanjur kupercayai. Aku berjalan ke arah pintu setelah selesai membayar minumanku.
Tapi aku terpaku, sosok yang kutunggu-tunggu muncul dari balik pintu. Jantung dan darahku berhenti sepersekian detik lamanya. Saat tiba-tiba mataku beradu dengan mata yang paling kurindukan.
Matamu!