Matahari pagi masuk melalui sela-sela jendelaku yang tak bertabir. Silaunya membangunkanku dari tidurku yang juga tak terlalu nyenyak. Entahlah, sejak perih itu tertanam di hatiku, tidurku tak lagi bisa nyenyak. Kuregangkan badanku sedikit, lalu reflek kuambil telepon genggam di meja samping tempat tidurku. Memasukkan nomor yang kuhapal di luar kepalaku, tapi kemudian menghapusnya lagi.
See, I look for you in the morningIt's that where my mind always goes(Colbie Caillat - Begin Again)
Begini tiap hari, tiap pagi. Alam bawah sadarku seolah masih ingin menjadi yang pertama menyapa selamat pagi, bahkan ketika kesadaranku belum penuh, serta pita suaraku belum benar-benar siap mengeluarkan suara. Tapi aku tak peduli, ini seolah jadi kebutuhan bagiku, kebutuhan untuk selalu jadi yang pertama untukmu. Tapi kini, pagiku diisi dengan perlawanan melawan alam bawah sadarku. Jangan tanya bagaimana sisa hariku, ketika tiap hari kuawali dengan melawan diri sendiri.
Purnama-purnama yang berlalu rupanya sama sekali tidak memudarkan hal-hal yang biasa kita lakukan bersama dulu, saat semuanya masih baik-baik saja. Kadang ingin rasanya aku bersikap seolah tak peduli, menghubungimu setiap aku mau seperti dulu, tanpa perlu memikirkan lukamu, juga lukaku. Baiklah, aku sejujurnya tak tahu apa-apa tentang lukamu. Tapi paling tidak lukaku masih basah, tak mengering sama sekali. Jadi kuhindarkan segala hal yang membuatnya bersentuhan denganmu.
Aku sesungguhnya tak tahu mana yang lebih baik. Kadang hatiku membisikkan sesuatu. Ia berkata bahwa satu-satunya yang bisa mengobati lukaku adalah orang yang sama yang menorehkan luka ini. Tapi itu mati-matian dibantah logikaku yang mengatakan bahwa hanya keledai yang terjatuh di lubang yang sama lebih dari sekali. Sungguh aku benar-benar tak tahu mana yang lebih baik.
Ada satu pertanyaan yang begitu ingin kutanyakan langsung kepadamu, tentang kesempatan untuk kembali saling menautkan hati ini. Hati yang terlalu sakit karena telah berbulan-bulan dipaksa berpisah oleh ego kita. Tapi lagi-lagi aku tak berani, aku terlalu rapuh untuk itu.
Entah darimana, ada kekuatan yang datang tiba-tiba, itupun jika ini bisa disebut kekuatan. Yang pasti aku tak bisa melawan. Kekuatan ini menggerakkan tanganku meraih telepon genggamku. Mengetikkan sebaris kalimat pendek. Lalu mengirimkannya ke nomor yang kuhapal benar di luar kepala
“Selamat pagi.. Apa kabar?”Sent
Maafkan, pagi ini aku terlalu rindu.
1 komentar:
kebiasan memang tidak bisa di hilangkan begitu saja oleh luka sedalam apapun ..
iku ti kata hatimu .. kalau kau rindu ... sapalah terlebig dahulu .. jangan sampai kau di bunuh oleh rasa rindu itu ..
semangat .. !
Posting Komentar