Senin, 15 Maret 2010

Menjemput Mimpi



Sebuah pesan singkat balasan darimu :

“Jumat minggu depan di tempat biasa, jam 07.00 malem. Gimana? Can’t hardly wait to see you again :)”

Apakah ini pertanda? Sebuah pertemuan setelah perpisahan? Saat kaki kita melangkah menjauh, memberi jarak bagi dua hati yang mungkin sebenernya masih berharap dapat tertaut. Tapi, kamu selalu bilang “Rasa akan mengalahkan segalanya, bahkan jika harus berperang dengan logika, maka rasa ini akan selalu memenangkan pertempuran”. Dan inikah jawabannya, bahwa rasaku padamu telah menuntun kita berdua pada sebuah pertemuan kembali? Sebuah reuni?

Mungkin…

Aku belajar, sekelebat mimpi dapat membuat kau terlena dengan banyak cara. Mungkin menghadirkan senyum atau justru tangisan karena rasa sakit tak tertahankan. Hei sayang… aku memimpikan siluetmu malam ini. Dan tangisku mengendap jauh ke dalam digantikan dengan senyuman yang tersembul sepanjang hari. Kita akan bertemu lagi malam ini!

Kubawa ini ke hadapanmu nanti malam; rindu yang membesar setiap harinya, dan sebait rasa yang tersimpan dengan sangat baik di hatiku. Maka yang harus kulakukan sekarang adalah mempersiapkan hati untuk kubawa bersamaku agar ia dapat memenuhi setiap kejutan yang mungkin terjadi saat mataku dan matamu beradu, atau saat mulut kita saling tertawa untuk sebuah kisah konyol klise di kehidupan kita.

“Naek apa tadi? Gw bilang kan juga bisa dijemput, tapi lo gak mau. Kenapa sih?”

Gw? Lo? Bukankah kita sudah melupakan sapaan ini saat cinta mempertemukan kita pada sebuah komitmen? Ya, ini memang bukan kita, karena lelaki yang ada di hadapanku sekarang memang bukan kamu! Dia, sahabatku yang menyatakan cinta padaku seminggu yang lalu! Lelaki yang mencoba membuatku tertawa saat air mata selalu mendera hari-hariku...


*******

Mungkin aku harus merelakan ‘kita’, terlalu menyakitkan mendamba pada sesuatu yang semu. Dan bukankah bayangan tentang kita menjadi semu sekarang? Terasa kabur. Dan aku takut menarik diriku dalam kesemuan. Aku tidak siap terluka lagi sayang…

Aku membuat janji pertemuan dengan yang lain dan kuperintahkan supir taksi untuk memutar kemudinya. Aku dan taksi ini tak lagi menuju bangunan antik di depan Museum Fatahillah.

Maaf, kakiku tak berlari ke arahmu malam ini, tapi percayalah hati ini terus menerus meniti berbagai kemungkinan untuk dipertemukan pada sejumput bahagia bersamamu…

Dan aku menahan tangis dalam laju taksi di antara lampu kota yang berkerlip menemani malam…

1 komentar:

hoedz mengatakan...

jadi ...
gak ketemu nih ceritanya ... ?

Posting Komentar