Tentu aku masih ingat senja itu, saat matahari mulai turun mendekap batas cakrawala dan udara dingin perlahan menusuk tubuhku. Ingatan yang menyisakan rasa getir dalam diriku sampai saat ini.
Hingga badanku menggigil, justru bukan karena udara malam yang perlahan menggelayut pada senja kita. Tapi karena inginku yang tak dikabulkan olehmu. Inginku yang terdalam walau akhirnya hanya dapat kusampaikan pada kalimat terakhir.
Mungkin yang harus kamu tahu adalah kenyataan bahwa kalimat pertama tak selamanya berarti segalanya. Sama seperti senja itu, saat aku menyuruhmu menghilang bersama angin, pergi menjauh dari kehidupanku. Kamu harus tahu, itu hanya luapan emosi sesaat. Gagasan tentang ketidakyakinan yang tiba-tiba meluap, yang seharusnya kamu tampung dan bukannya kamu biarkan tumpah hingga ke tepian.
Lalu aku berteriak padamu untuk mempertahankan semua yang kita miliki hingga detik itu. Tapi kamu tak lagi mendengar. Atau mungkin bertingkah seperti tak mendengar karena kamu menjadi terlalu sibuk pada semua hal terbaik namun menyakitkan untuk kita jalani. Tapi kamu harus tahu, inilah kalimat terakhir yang kuucapkan saat itu, saat aku ingin kamu meyakinkanku dan bukannya pergi meninggalkanku...
Tapi bisa apa aku, saat dayamu padaku seakan sudah habis. Yang aku tahu, aku menangis tanpa bisa dihentikan. Tanpa tahu, mana yang lebih menyakitkan. Menyesal karena kalimat pertamaku atau karena kamu yang melepaskan ini semua dengan mudah.
Berbulan-bulan kemudian, disinilah aku, duduk di stasiun menanti kereta pada suatu senja. Senja yang selalu mengingatkanku pada kekacauan yang kita buat, dengan memori yang terserak sempurna pada setiap sinaps yang dimiliki otakku. Berulangkali kuputuskan sambungannya. Namun selalu berakhir dengan kesia-siaan, karena aku terus mengingatmu...
1 komentar:
hhmm ... Tiara .... jangan sesali apa yg telah kau ucapkan di kata pertama ...
seorang pria selalu mengangap serius apa yg di utarakan gadisnya ...
Posting Komentar